JANGAN AJARI BURUNG BERENANG !!
Seorang kawan menceritakan anaknya yang selalu mengeluh dan
tidak berminat sekolah kembali karena teman-teman di sekolahnya mengatakan
“goblok” kepada anaknya hanya karena tidak bisa mengerjakan matematika. Mungkin
juga, kejadian ini pernah kita alami waktu kita masih sekolah sebelumnya baik
di tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan.
Armstrong –salah satu ahli multiple intelligencies- pernah
berujar, jangan pernah kamu ajari burung untuk berenang, ikan untuk terbang,
maka yang ada burung akan kehilangan kemampuannya untuk terbang, dan ikan tidak
akan mampu berenang kembali. Artinya, bahwa setiap individu telah memiliki
kecenderungan dan gaya yang berbeda-beda. Maka, vonis-vonis terhadap anak
seperti kawan tadi sangat lah tidak dibenarkan. Demikian juga anak-anak, mereka dilahirkan
dengan segala kesempurnaan yang diberikan Tuhan, dan juga dengan lautan potensi
yang berbeda-beda. Yang tentunya tidak sama satu dengan yang lainya. Sering
kita melihat dan merasakan teman-teman waktu sekolah, yang matematika maupun
IPA nya diatas rata-rata, ternyata kehidupan mereka tidak lebih baik dari pada
teman yang lain. Bahkan, sering kita jumpai, teman bermain kita, sering
dapat julukan“nakal”, “bodoh” dan sebagainya, ternyata diantara
mereka banyak juga, telah menjadi pengusaha yang sukses, pimpinan perusahaan
besar, bahkan menjadi seorang ulama.
Ini membuktikan yang sebelumnya disebut cerdas hanya
terbatas pada anak-anak yang dapat nilai baik dalam hal matematika dan sains
saja, tetapi pada kenyataan saat ini bukti-bukti bahwa kecerdasan hanya
sesempit itu sudah bergeser dan menjadi lebih luas. Pandangan ini diwakili oleh
Howar Gardner yang memberikan gambaran anak-anak atau setiap inividu memiliki
kecerdasan yang beragam, paling tidak; kecerdasan logis dan matematik,
linguisitik, kinestetik, intrapersonal, interpersonal, spasial, musical dan
natural.
Implikasi teori ini tentu akan sangat besar, pertama, tidak
mungkin anak-anak yang memiliki kecerdasan berebeda kemudian di perlombakan
atau diadu dengan ukuran sama. Artinya, apakah mungkin anak-anak dengan
kecerdasan musical lebih baik versus anak-anak yang kinestetiknya dominan diadu
lomba bermain piano, ataupun sebaliknya dengan lomba bermain sepak bola. Maka,
yang mungkin adalah mengadu dengan level kecerdasannya sama atau setidaknya
mirip.
Kedua, dengan paradigma ini maka penilaian dalam belajar pun
juga harus tidak sama, penilaian harus menekankan pada proses bukan pada hasil,
ini yang disebut ountentik assessment. Anak yang starting
point kemampuan menghitungnya 1 dan teman kelasnya yang sudah di level
5 kemudian dalam proses belajar yang pertama memiliki hasil akhir 5 sementara
yang kedua adalah 7, maka yang harus mendapatkan nilai lebih baik adalah anak
yang pertama.
Implikasi yang ketiga adalah, setiap insan pendidik tentu
harus memahami segala potensi yang dimiliki oleh anak-anak didiknya, artinya
pemetaan terhadap kecerdasan anak-anak menjadi penting. Sehingga, pendekatan
dalam mengajar juga akan sangat beragam, tidak mungkin anak-anak yang memiliki
kecerdasan kinestettik yang tinggi, akan mampu menyerap pembelajaran dikelas
dengan model ceramah, yang lebih sepadan dengan kondisi anak ini adalah belajar
yg menggunakan media gerakan tubuhnya dan moving class, karena
dengan gerak dan selalu aktif memuat anak seperti ini lebih nyaman dengan
dirinya. Begitu juga anak-anak yang kecerdasan naturalnya lebih tinggi, akan
lebih mudah menerima pembalajaran apapun ketika di luar ruangan dan bersanding
dengan alam sekitar dan lingkungan. Dengan kondisi yang sedemkian rupa, guru
dituntut memiliki pemahaman komprehensif terhadap metode pengajaran yang
beragam yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak di dalam kelas.
Keempat, untuk orang tua tidak perlu memakasakan diri untuk
berfikir seperti dirinya kepada anak-anaknya. Sejalan dengan ungkapan Imam Ali
“didiklah anak-anakmu untuk waktu yang tidak sama denganmu”. Karena potensi dan
kecerdasan anak berbeda-beda, kita sebagai orang tua mesti membekali diri
anak-anak kita dengan cara-cara yang berbeda. Semua tidak akan pernah tahu masa
depan seperti apa, tetapi kita tahu bahwa dengan keaneka ragaman dan
penyelesaian masalah dengan baik, membuat anak-anak akan mampu survive,
dan inilah yang disebut Rhenald Kasali sebagai kurikulumnya orang tua.
Penting bagi kita bersama dengan potensi anak yang
beragam dan kondisi zaman yang semakin tidak terprediksi, bergandengan tangan
untuk membuat anak-anak kita menjadi kokoh dan mampu menyelesaikan diri sendiri
syukur-syukur untuk lingkungan sekitar. Tidak terbatas pada sekolah tetapi juga
orang tua dan masyarakat pada umumnya, memberikan tempat yang layak atas
heterogenitas anak-anak, sehingga anak-anak tumbuh menjadi insan yang bahagia
dan memiliki akhlaq mulia. Wallahu a’lam. by Edi Slamet @edislatem12
Comments
Post a Comment